Thursday 20 June 2013

KATAKAN TIDAK UNTUK RANGKING

Membaca postingan teman-teman, sepertinya minggu ini adalah hari menegangkan bagi para orang tua yang punya putra-putri di Sekolah Dasar karena akhir pekan ini beliau-beliau akan menerima rapot hasil belajar putra-putri mereka. Namun bagi saya terasa menyedihkan manakala esensi laporan hasil belajar sepertinya sudah terkalahkan oleh yang namanya Ranking. Menjadi pertanyaan adalah apa manfaat dan kekurangan Ranking? Kapan seharusnya Ranking diterapkan?

Jika ditanya, mengapa harus ada ranking? Jawaban yang sering didengar adalah untuk mengukur hasil belajar dan memotivasi siswa (dan orang tua) untuk lebih rajin belajar. Hal ini bisa jadi benar, namun bisa juga kurang tepat. Selain itu, penerapan yang terlalu dini malah memungkinkan hasil sebaliknya (dampak negatif) yang diperoleh. Menyingkat kata, apa alasan saya berkata demikian:

1. Belajar adalah sebuah proses, sehingga hendaknya rapot juga harus mampu menceritakan proses tersebut. Dengan demikian laporan berupa angka indek (ranking) dan kuantifikasi hasil ujian belumlah menggambarkan proses, mengerikannya kalau hanya kemudian hanya rangking yang malah dijadikan dasar melihat hasil belajar. Kalaupun dengan alasan ‘pengukuran’  dan ‘peringkasan laporan’ kemudian dilaporkan hasilnya (UTS/UAS), tidak apa asal tetap disertai dengan penjelasan proses mengapa anak bisa sampai hasil demikian. Hal ini bisa dilakukan dengan pemberian deskripsi dan penyediaan waktu konsultasi pasca pengambilan rapot.

2. Potensi setiap anak adalah unik dan berbeda-beda, namun dengan sistem pendidikan yang ada di negara kita dan sistem pelaporan hasil belajarnya yang berupa rapot dengan indek ranking di dalamnya, cemerlangnya bakat dan kecerdasan setiap anak menjadi terabaikan. Ranking sama sekali tidak menjelaskan dimana bakat kecerdasan anak, sebaliknya bisa menyesatkan ketika titik perhatian hanya pada ranking.

3. Taraf berfikir anak sampai usia 10 tahun masih bersifat konkrit-operasional, belum matang dalam memahami konsep abstrak termasuk arti penting sebuah kompetisi (yang tak pelak lagi terbentuk dengan adanya sistem ranking). Artinya, jika diterapkan terlalu dini maka tanpa kita sadari kita menciptakan bom waktu. Kompetisi belum mampu dipahami anak sebagai sarana memotivasi diri, yang mereka pahami hanya kalah menang (jika ada orang tua yang berfikir demikian, bisa jadi mereka masih kanak-akanak karena juga masih operasional konkrit). Pada akhirnya kita membentuk anak kita untuk selalu melihat dunia sebagai sebuah tempat persaingan, kalah-menang, dan bukan yang tempat saling berbagi dan saling bekerja sama. ‘Teman kanan kiri saya adalah musuh saya’. Wajar jika dewasa kemudian banyak orang pintar, bukan pintar dan bermanfaat untuk lingkungan, namun pintar memakan saudara dan teman. Hipotesa saya, ini mungkin yang menjadi salah satu sebab korupsi di Indonesia sulit dihilangkan.

4. Belajar hanya akan optimal ketika emosi dalam kondisi senang, dimana syaraf-syaraf otak bekerja maksimal (ketika dalam emosi negatif syaraf dan volume otak ternyata mengkerut lho). Penerapan ranking ternyata sering membuat proses belajar bagi anak menjadi tidak menyenangkan, karena ada kompetisi di dalamnya. Boleh jadi awalnya anak tidak menyadari, namun orang tua sendiri yang sebenarnya berkompetisi yang kemudian ditularkan ke putra-putranya (proyeksi dari kompetisi orang tua, atau jangan-jangan malah displacement dari perasaan kalah orang tua).
5. Memotivasi tidak harus tentang kalah menang. Dalam pendidikan, motivasi diri hanya timbul ketika siswa terbangkitkan rasa sukanya dan keyakinan akan kemampuan dirinya pada bidang tersebut (self efficacy). Artinya jika anak dapat 5 pada matematika dan 8 pada bahasa, pujilah dulu hasil bahasa-nya. Jika perlu (harusnya) ‘bahasa’ yang dikembangkan. Motivasi yang dibangkitkan dari perasaan kalah menang seringkali malah menimbulkan perasaan tekanan yang ujung-ujungnya bisa mengarahkan pada depresi.
Jika ternyata demikian banyak dampak negatif dari ranking, maka penerapannya PERLU dipertimbangkan lagi, apalagi pada pendidikan di jenjang Sekolah Dasar.
Di Malang sendiri ada sebuah sekolah SD yang sangat terkenal. Setiap tahun orang tua berlomba memasukkan anaknya ke sana sekalipun tahu biayanya mahal, kalau perlu pakai lobi kanan-kiri. Masuknya harus pakai psikotes dan siswa ditempatkan di kelas-kelas sesuai dengan kemampuannya, kelas A untuk yang cerdas, B untuk sedang, C untuk yang ‘kurang cerdas”. Setiap akhir tahun di evaluasi, anak yang rankingnya rendah di kelas A harus pindah ke kelas B. Awalnya saya sendiri tidak terlalu tahu sekolah ini, kecuali sekolah ini katanya bagus (anak saya masih balita saat itu). Namun ternyata begitu saya balik ke Malang dan melayani jasa konseling psikologi, selama  2006-2012, ternyata cukup banyak klien saya adalah orang tua dari siswa-siswa di sekolah tersebut. Mereka mengeluhkan stres karena hasil belajar anaknya yang kurang memuaskan, atau mengeluhkan mengapa anak perilakunya menjadi berubah, seperti tidak pernah mau belajar, pemarah, menjadi mudah menangis, kadang melamun, dan sebagainya.Tanda-tanda dari seorang anak yang mengalami stress dan mengarah ke depresi. Ternyata jika ditelusuri penyebabnya hanya satu: soal Ranking.
Ketika saya banyak mengkritik sekolah tersebut, banyak yang beragumen: “bukankah sekolah tersebut terbukti bagus?”. Bagi saya pribadi, sekolah yang bagus adalah yang masuknya heterogen (ada yang pintar ada yang kurang, jika diukur dari IQ) namun keluarnya homogen, pintar semua, berprestasi semua, di bidang masing-masing tentunya. Jika masuknya homegen, keluarnya homogen, artinya guru sebenarnya tidak bekerja. Namun pendapat saya ini tentu tidak juga sepenuhnya benar.
Sedikit catatan, sepengetahuan saya sebagai psikolog klinis, asesmen kecerdasan pada anak memerlukan persyaratan administrasi yang ketat. Artinya harus bersifat individual, suasana harus bersifat santai (informal), dan ada kesiapan penuh dari anak baik secara mental (sukarela) maupun fisik (sehat dan segar, pagi hari paling disarankan). Herannya, di sekolah tersebut ada psikotes (mengukur IQ) untuk anak sebagai bagian dari seleksi masuknya yang hebatnya dilangsungkan klasikal. Berniat dalam hati, kapan-kapan harus belajar ke psikolog di sekolah tersebut sepertinya saya he..he…

penulis: M. Salis Yuniardi
Psikolog dan saat ini menjadi pelajar di Institute of Neuroscience Newcastle University

No comments:

Post a Comment