Membaca postingan teman-teman, sepertinya minggu
ini adalah hari menegangkan bagi para orang tua yang punya putra-putri
di Sekolah Dasar karena akhir pekan ini beliau-beliau akan menerima
rapot hasil belajar putra-putri mereka. Namun bagi saya terasa
menyedihkan manakala esensi laporan hasil belajar sepertinya sudah
terkalahkan oleh yang namanya Ranking. Menjadi pertanyaan adalah apa
manfaat dan kekurangan Ranking? Kapan seharusnya Ranking diterapkan?
Jika ditanya, mengapa harus ada ranking? Jawaban yang sering didengar adalah untuk mengukur hasil belajar dan memotivasi siswa (dan orang tua) untuk lebih rajin belajar. Hal ini bisa jadi benar, namun bisa juga kurang tepat. Selain itu, penerapan yang terlalu dini malah memungkinkan hasil sebaliknya (dampak negatif) yang diperoleh. Menyingkat kata, apa alasan saya berkata demikian:
1. Belajar adalah sebuah proses, sehingga hendaknya rapot juga harus mampu menceritakan proses tersebut. Dengan demikian laporan berupa angka indek (ranking) dan kuantifikasi hasil ujian belumlah menggambarkan proses, mengerikannya kalau hanya kemudian hanya rangking yang malah dijadikan dasar melihat hasil belajar. Kalaupun dengan alasan ‘pengukuran’ dan ‘peringkasan laporan’ kemudian dilaporkan hasilnya (UTS/UAS), tidak apa asal tetap disertai dengan penjelasan proses mengapa anak bisa sampai hasil demikian. Hal ini bisa dilakukan dengan pemberian deskripsi dan penyediaan waktu konsultasi pasca pengambilan rapot.
2. Potensi setiap anak adalah unik dan berbeda-beda, namun dengan sistem pendidikan yang ada di negara kita dan sistem pelaporan hasil belajarnya yang berupa rapot dengan indek ranking di dalamnya, cemerlangnya bakat dan kecerdasan setiap anak menjadi terabaikan. Ranking sama sekali tidak menjelaskan dimana bakat kecerdasan anak, sebaliknya bisa menyesatkan ketika titik perhatian hanya pada ranking.
3. Taraf berfikir anak sampai usia 10 tahun masih bersifat konkrit-operasional, belum matang dalam memahami konsep abstrak termasuk arti penting sebuah kompetisi (yang tak pelak lagi terbentuk dengan adanya sistem ranking). Artinya, jika diterapkan terlalu dini maka tanpa kita sadari kita menciptakan bom waktu. Kompetisi belum mampu dipahami anak sebagai sarana memotivasi diri, yang mereka pahami hanya kalah menang (jika ada orang tua yang berfikir demikian, bisa jadi mereka masih kanak-akanak karena juga masih operasional konkrit). Pada akhirnya kita membentuk anak kita untuk selalu melihat dunia sebagai sebuah tempat persaingan, kalah-menang, dan bukan yang tempat saling berbagi dan saling bekerja sama. ‘Teman kanan kiri saya adalah musuh saya’. Wajar jika dewasa kemudian banyak orang pintar, bukan pintar dan bermanfaat untuk lingkungan, namun pintar memakan saudara dan teman. Hipotesa saya, ini mungkin yang menjadi salah satu sebab korupsi di Indonesia sulit dihilangkan.
4. Belajar hanya akan optimal ketika emosi dalam kondisi senang, dimana syaraf-syaraf otak bekerja maksimal (ketika dalam emosi negatif syaraf dan volume otak ternyata mengkerut lho). Penerapan ranking ternyata sering membuat proses belajar bagi anak menjadi tidak menyenangkan, karena ada kompetisi di dalamnya. Boleh jadi awalnya anak tidak menyadari, namun orang tua sendiri yang sebenarnya berkompetisi yang kemudian ditularkan ke putra-putranya (proyeksi dari kompetisi orang tua, atau jangan-jangan malah displacement dari perasaan kalah orang tua).
5. Memotivasi tidak
harus tentang kalah menang. Dalam pendidikan, motivasi diri hanya timbul
ketika siswa terbangkitkan rasa sukanya dan keyakinan akan kemampuan
dirinya pada bidang tersebut (self efficacy). Artinya jika anak
dapat 5 pada matematika dan 8 pada bahasa, pujilah dulu hasil
bahasa-nya. Jika perlu (harusnya) ‘bahasa’ yang dikembangkan. Motivasi
yang dibangkitkan dari perasaan kalah menang seringkali malah
menimbulkan perasaan tekanan yang ujung-ujungnya bisa mengarahkan pada
depresi.
Jika ternyata demikian banyak dampak
negatif dari ranking, maka penerapannya PERLU dipertimbangkan lagi,
apalagi pada pendidikan di jenjang Sekolah Dasar.
Di Malang sendiri ada sebuah sekolah SD yang sangat
terkenal. Setiap tahun orang tua berlomba memasukkan anaknya ke sana
sekalipun tahu biayanya mahal, kalau perlu pakai lobi kanan-kiri.
Masuknya harus pakai psikotes dan siswa ditempatkan di kelas-kelas
sesuai dengan kemampuannya, kelas A untuk yang cerdas, B untuk sedang, C
untuk yang ‘kurang cerdas”. Setiap akhir tahun di evaluasi, anak yang
rankingnya rendah di kelas A harus pindah ke kelas B. Awalnya saya
sendiri tidak terlalu tahu sekolah ini, kecuali sekolah ini katanya
bagus (anak saya masih balita saat itu). Namun ternyata begitu saya
balik ke Malang dan melayani jasa konseling psikologi, selama
2006-2012, ternyata cukup banyak klien saya adalah orang tua dari
siswa-siswa di sekolah tersebut. Mereka mengeluhkan stres karena hasil
belajar anaknya yang kurang memuaskan, atau mengeluhkan mengapa anak
perilakunya menjadi berubah, seperti tidak pernah mau belajar, pemarah,
menjadi mudah menangis, kadang melamun, dan sebagainya.Tanda-tanda dari
seorang anak yang mengalami stress dan mengarah ke depresi. Ternyata
jika ditelusuri penyebabnya hanya satu: soal Ranking.
Ketika saya banyak mengkritik sekolah tersebut,
banyak yang beragumen: “bukankah sekolah tersebut terbukti bagus?”. Bagi
saya pribadi, sekolah yang bagus adalah yang masuknya heterogen (ada
yang pintar ada yang kurang, jika diukur dari IQ) namun keluarnya
homogen, pintar semua, berprestasi semua, di bidang masing-masing
tentunya. Jika masuknya homegen, keluarnya homogen, artinya guru
sebenarnya tidak bekerja. Namun pendapat saya ini tentu tidak juga
sepenuhnya benar.
Sedikit catatan, sepengetahuan saya sebagai
psikolog klinis, asesmen kecerdasan pada anak memerlukan persyaratan
administrasi yang ketat. Artinya harus bersifat individual, suasana
harus bersifat santai (informal), dan ada kesiapan penuh dari anak baik
secara mental (sukarela) maupun fisik (sehat dan segar, pagi hari paling
disarankan). Herannya, di sekolah tersebut ada psikotes (mengukur IQ)
untuk anak sebagai bagian dari seleksi masuknya yang hebatnya
dilangsungkan klasikal. Berniat dalam hati, kapan-kapan harus belajar ke
psikolog di sekolah tersebut sepertinya saya he..he…
penulis: M. Salis Yuniardi
Psikolog dan saat ini menjadi pelajar di Institute of Neuroscience Newcastle University
No comments:
Post a Comment